Jika negara hanya akan menjadi alat bagi para penguasa modal, bukankah penindasan menjadi satu-satunya bahasa yang akan tetap dianggap keniscayaan oleh negara? Lalu negara apa yang tak berkepedulian kepada rakyat demi pertumbuhan yang melahirkan kesenjangan?
Demikian disampaikan Shohibul Anshor Siregar dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS) di kampus UMSU belum lama ini.
Shohibul mengatakan, rakyat dilarang dan ditakut-takuti berbicara SARA, padahal pengistimewaan kelompok suku tertentu telah sejak awal menjadi faktor satu-satunya penyebab kesenjangan sosial. “Anehnya, sambil mencacaci-maki mayoritas yang terpuruk secara sosial, ekonomi dan politik, negara malah diposisikan sebagai perisai kuat melawan usaha-usaha keserasial sosial berbasis keadilan,” ujarnya.
Dalam pokok pikirannya 9652 kata berjudul “Indonesia Mencemaskan”, dosen FISIP UMSU ini menegaskan kekhawatirannya bahwa telah lama negara dibiarkan hanya menjadi saksi dan sekaligus pengukuh status kesenjangan sosial ekonomi yang rawan keserasian.
“Negara mana di permukaan bumi ini yang sudah lama dihentikan oleh para operator pada titik minimalis, tentulah dapat dibuat daftarnya dengan mudah, termasuk Indonesia,” tandasnya.
Perhatikanlah, lanjut Koordinator Umum ‘nBASIS ini, pemerintah tetap menilai urusan terpentingnya hanyalah melakukan intervensi melalui pemberlakuan regulasi tertentu, misalnya Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, no 8 dan 9 tahun 2006 tentang trilogi kerukunan yang mencakup kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Ia pun selalu diposisikan menakut-nakuti dengan kerap mengatakan bahwa di Indonesia faktor agama selalu menduduki peringkat kedua sebagai pemicu konflik sosial yang serius. Sangat diperlukan koreksi tajam, bahwa pertautan antar faktor tak mungkin diabaikan. Konflik agama tak selalu demi dan untuk agama itu sendiri berdasarkan persepsi para pemeluknya saja. Tetapi berbagai konflik dalam dimensi politik dan ekonomi semakin kerap mengambil tema pada agama dan pemahaman purifikasi di dalamnya.
Lebih lanjut Shobul menjelaskan, bahwa masalah-masalah krusial yang kerap secara konvensional terjadi seperti penyiaran agama kepada penganut agama lain, penodaan agama, perkawinan berbeda agama, pendirian rumah ibadah, perayaan hari besar keagamaan, keberadaan dan kegiatan aliran atau sempalan keagamaan tertentu, kini wajib difahami tidak selalu dapat diposisikan tunggal tanpa dimensi tautannya dengan kualitas keadilan terutama dalam ekonomi.
Ironisnya, kata Shohibul, sebagai sebuah Negara yang kerap dianggap dapat dikedepankan sebagai salah satu contoh keberhasilan dalam membangun kerukunan antar umat beragama, Indonesia kerap dipandang telah melewati berbagai pengalaman yang cukup pelik dengan cap sukses. Padahal ini sungguh tidak merupakan masalah yang terjadi dan boleh ditata secara simplistis dengan hanya menggunakan segenap penilaian keberhasilan atau kegagalannya sebagaimana dikonsepsikan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto dan yang hingga kini diperkuat sebagai pakem kuno.
Untuk itu Shohibul mempertanyakan, bagaimana memahami ketidak-serasian sosial dan bahkan gerakan protes damai maupun berbau kekerasan ketika tak dihubungkan dengan fakta 82,7 % kekayaan dunia dikendalikan leluasa oleh hanya 20 % penduduk istimewa karena akses, penguasaan dan dominasnya?
Bagaimana memahamkan Indonesia maju jika revolusi mental yang didengungkan setiap saat tak pernah berbicara transaksi menindas antara buruh dan majikan, transaksi daerah dan pusat, dan transaksi negara dengan multinational corporations?.
Shobul juga memaparkan data terkait Indonesia yang menunjukkan persentase pertumbuhan miliarder terbesar dari 10 negara yang dicatat sepanjang 2013-2014 dengan angka 22,6 %. India mencatat 17,1 %, Nigeria 10 %, Amerika Serikat 9,5 %, Brazil 8,9 %, Turki 8,5 %, Cina 7,9 %, Meksko 7 %, Inggeris 6,6 % dan Rusia 4,8 %. Dengan kekayaan $16.5 bilion R.Budi & Michael Hartono adalah salah seorang terkaya dengan 9 lainnya, yakni keluarga Susilo Wonowidjojo ($8,0 bilion), Eka Tjipta Widjaja ($ 5,8 bilion), Sri Prakasih Lohia ($4,4 bilion), Chairul Tanjung ($4,3 bilion), Keluarga Boenjamin Setiawan ($4,3 bilion), Keluarga Mochtar Riady ($2,7 bilion), Peter Sondakh ($2,3 bilion) dan Sukanto Tanoto ($2,1 bilion) (Revrisond Baswir, 2015). Inilah bahasa pembangunan dunia, dan bahasa pembangunan nasional. Tanyalah relevansi revolusi mental untuk kasus kesenjangan ini.
Kemiskikan dan pengangguran di Indonesia membeberkan fakta bahwa TKI (Maret 2014) mencapai 6,5 juta. UMR rata-rata hanya Rp 1.595.000, Angkatan kerja berpendidikan setara pendidikan SD 47,9 juta, pengangguran terselubung 20,3 juta, pengangguran terbuka 7,2 juta, penduduk miskin USD 2/ hari (PPP) 43,3 juta dan penduduk miskin dengan penghasilan Rp 292.951/bulan 28,5 juta? Sudah begitu parah negara masih bercita-cita besar membawa tenaga asing (dari Cina) mengiringi janji investasinya berpuluh juta jiwa? Revolusi mental apa yang relevan untuk fakta-fakta ini?
Data tahun 2014 menunjukkan bahwa Belanja daerah DKI sebesar 72,0 Triliun, Jawa Barat 21,7 Triliun, Jawa Timur 16,9 Triliun, Jawa Tengah 13,9 Triliun, Kalimantan Timur 12,1 Triliun, NAD 10,2 Trilun, dan Sumatera Utara 8,4 Triliun.
“Di Sumatera Utara orang sudah muak berbicara pembagian keuangan pusat dan daerah dan banyak orang yang yakin hal ini hanya dapat dibahasakan dengan kekerasan. Relevansi revolusi mental apa yang dapat diveritakan untuk kesenjangan ini? Hanya dengan mengumbar cerita naif soal pemindahan ibukota?,” tanya Shohib.
Selama ini, kata Shobul, kesenjangan struktural dilembagakan melalui rangkaian sistem dan kebijakan yang bersendi ketidak-adilan. Karena terperangkap dalam rangkaian sistem kebijakan yang tidak adil ini, maka kelompok terluas dari masyarakat yang lemah akan terus-menerus kehilangan kemampuan dan akses untuk membebaskan diri dari perlakuan tidak adil dan kemiskinan.
“Jawabannya, tauhid struktural yang akan melahirkan kesalehan struktual dalam negara berkeadilan,” pungkasnya